Selasa, 08 November 2011

PANDANGAN FILSAFAT KONSTRUKTIFISME TENTANG PELAKSANAAN UJIAN AKHIR NASIONAL DI INDONESIA


PANDANGAN FILSAFAT KONSTRUKTIFISME TENTANG PELAKSANAAN UJIAN AKHIR NASIONAL DI INDONESIA
Oleh: Luh Ketut Sri Widhiasih

A.    Latar Belakang Masalah Yang Dihadapi
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga Negara (Ngadirin, 2004). Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian akhir nasional (UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang, menurut pendapat penulis, merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UAN merupakan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan? Jika kurikulum Indonesia sudah berdasarkan Filsafat konstruktivisme yang mendasarkan pembelajaran pada evaluasi proses, haruskah UAN dilaksanakan? Makalah ini mencoba untuk mengupas apakah evaluasi dalam bentuk UAN dapat menjawab pertanyaan tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan berdasarkan filsafat konstruktivisme. Pembahasan dimulai dari landasan filsafat konstruktivisme, pemecahan masalah berdasarkan filsafat konstruktivisme, dan diakhiri dengan kesimpulan dan saran.
A.    Landasan Filsafat
1.      Konsep Dasar
Berdasarkan  Suparno (1997), gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia, pada tahun 1970. Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Filsafat konstruktivisme dapat digolongkan dalam filsafat pengetahuan, bagian dari filsafat yang mempertanyakan masalah pengetahuan dan bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu. Dewasa ini filsafat konstruktivisme banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan, terutama dalam proses pembelajaran. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sejak tahun 2006/2007 sebenarnya memiliki akar pada konsep filsafat ini. Dalam konsep filsafat konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja oleh seorang guru kepada murid. Pengetahuan yang didapat murid bukanlah suatu perumusan yang diciptakan oleh orang lain melainkan dibangun (konstruksi) oleh murid itu sendiri (Basuki, 2010).
Sedangkan, pemikiran dasar yang melandasi filsafat konstruktivisme yaitu pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri karena pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang (Suparno, 1997). Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang relatif baku.
Menurut filsafat konstruktivisme, suatu pengetahuan yang dikonstruksikan dikatakan benar bila dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Pokok pikiran dari filsafat konstruktivisme adalah sebagai berikut:
      Belajar adalah sebuah proses aktif konstruksi ide baru.
      Pembelajaran lebih berpusat pada siswa daripada berpusat pada guru.
      Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pembantu.
      Pembelajaran berorientasi pada proses.
      Kurikulum berdasarkan pada pembentukan social.
      Pembelajaran ditekankan pada ilmu social dan proses.
       Pembelajaran yang demokratis dan kooperatif harus diprioritaskan.

2.      Analisis Filsafat
Berikut adalah analisis kritis penulis terhadap filsafat konstruktivisme menggunakan model analisis SWOT:
      STRENGTHS (KEKUATAN)
  1. Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik menurut konstruktivisme adalah peseta didik yang aktif mengkonstruksi pengetahuan yang dia dapat. Mereka membandingkan pengalaman kognetif mereka dengan persepsi kognetif mereka tentang sesuatu. Jadi guru dalam pembelajaran konstruktivisme hanya fasilitator, bukan model atau sumber utama yang bertugas untuk mentransfer ilmu pada siswa.
  2. Pembelajar lebih aktif dan kreatif. Sebagai akibat konstruksi mandiri pembelajar terhadap sesuatu, pembelajar dituntut aktif dan kreatif untuk mengaitkan ilmu baru yang mereka dapat dengan pengalaman mereka sebelumnya sehingga tercipta konsep yang sesuai dengan yang diharapkan.
  3. Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna berarti mengkonstruksi informasi dalam struktur pengertian lamanya. Jadi dapat dijabarkan bahwa dalam konstruktivisme, pembelajar mendapatkan ilmunya tidak hanya dengan mendengarkan penjelasan gurunya, tetapi juga dengan mengaitkan pengalaman pribadi mereka dengan informasi baru yang mereka dapat. Sesuatu yang didapat dengan proses pencarian secara mandiri akan menimbulkan makna yang mendalam terhadap ilmu baru itu.
  4. Pembelajar memiliki kebebasan belajar. Kebebasan disini berarti bahwa pembelajar dapat dengan bebas mengkonstruksi ilmu baru itu sesuai pengalamannya sebelumnya, sehingga tercipta konsep yang diinginkan.
  5. Perbedaan individual terukur dan dihargai. Karena proses belajar sesuai konstruktivisme adalah proses belajar mandiri, maka potensi individu akan terukur dengan sangat jelas.
  6. Membina sikap produktif dan percaya diri. Pembelajar diharapkan selalu mengkonstruksi ilmu barunya, sehingga mereka akan produktif menciptakan konsep baru tentang sesuatu untuk diri mereka sendiri. Rasa percaya diri juga dipupuk dalam filsafat ini dengan memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk menggunakan pengalaman mereka sendiri untuk melahirkan konsep baru yang nantinya akan mereka aplikasikan untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
  7. Proses evaluasi difokuskan pada penilaian proses. Filsafat konstruktivisme menuntun pembelajar untuk mengkonstruksi ilmu barunya dengan merefleksi pada pengalaman sebelumnya untuk membuat konsep baru. Dalam praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan.  
      WEAKNESSES (KELEMAHAN)
Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternative. Untuk itu diperlukan bantuan guru sebagai fasilitator bagi pembelajar untuk mengkonstruksi ide baru mereka, agar tidak terjadi salah tapsir akan pengertian sesuatu.
      OPPORTINITIES (PELUANG)
  1. Inovasi di bidang pendidikan di era globalisasi sekarang ini memungkinkan pembelajar untuk mengkonstruksikan sesuatu yang mereka dapat secara mengglobal, sehingga menciptakan konsep yang berguna untuk kehidupan global.
  2. Sumber belajar yang lengkap juga merupakan peluang yang akan membantu pembelajar untuk mengoptimalkan proses pengkonstruksian konsep yang mereka dapat.
  3. Teknologi pendidikan yang makin berkembang dan tersedia luas sangat memungkinkan pembelajar memperoleh pengalaman belajar yang lebih lengkap.
  4. Peluang berkembangnya filsafat konstruktivisme juga didukung oleh kecendrungan persaingan individu yang bebas dan sportif. Pada kasus ini, pembelajar menjadi termotivasi untuk mengkonstruksi sebuah konsep dengan penafsiran yang benar dan dengan waktu yang cepat karena tuntutan individu untuk menjadi yang terbaik.
      THREATS (KENDALA)
  1. Kemauan dan kemampuan belajar yang lemah dari pembelajar akan mengakibatkan proses konstruksi menjadi terhambat, karena dalam filsafat konstruktifisme yang berperan aktif dalam pembelajaran adalah pembelajar.
  2. Terkadang pembelajar tidak memiliki ketekunan dan keuletan dalam mengkonstruksi pemahamannya terhadap sesuatu, itu bisa saja menjadi kendala dalam prosesnya mengerti sesuatu.
Kebiasaan buruk memanfaatkan waktu senggang oleh pembelajar sangat mengganggu proses konstruktivisme. Waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk pembelajar untuk mengkonstruksi suatu konsep digunakan untuk sesuatu yang tidak berguna.
A.    Pemecahan Masalah berdasarkan Filsafat
Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu UAN bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. UAN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik, dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk UAN dapat mengukur bahwa siswa benar-benar belajar atau hanya menghapal?
Hasil belajar bukan hanya berupa pengetahuan yang lebih banyak bersifat hafalan, tetapi juga berupa keterampilan, sikap, motivasi, dan perilaku yang tidak semuanya dapat diukur dengan menggunakan tes karena melibatkan proses belajar. Seperti yang terungkap dalam filsafat konstruktivisme, bahwa pembelajaran berorientasi pada proses bukan hasil akhir. Jadi proses seorang siswa mendapat pengetahuannya lalu dapat mengaplikasikan pengetahuannya saat itulah seorang siswa dinyataka “lulus” dalam proses belajarnya.
System belajar mengajar konstruktivisme memerlukan evaluasi tersendiri, bukan evaluasi seperti yang sekarang ada yang menekankan pada isi bahan pelajaran. Evaluasi dengan multiple-choice, evaluasi yang tidak memungkinkan siswa mengungkapkan gagasan mereka sendiri dengan lebih leluasa sepertinya sangat tidak tepat dengan filsafat konstruktivisme yang menjungjung tinggi peran siswa dalam usaha pengembangan gagasanya secara mandiri. Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka. 
Sistem UAN sangat sayang jika dipertahankan, karena tidak akan berdampak membangun untuk siswa. Ketika menjelang UAN, smua sekolah kembali pada system lamanya. Guru memegang peranan utama lagi dalam kelas yang menurut konstruktivisme seharusnya students-center. Semua dengan alasan mengejar materi untuk persiapan UAN. Tetapi pernahkah dipikirkan, berapa persen materi yang diajarkan guru dengan ketergesa-gesaan seperti itu dan pola teacher-center yang dipakai,dapat diserap oleh otak siswa? Proses mentransfer pengetahuan yang dilakukan guru itu sangat tidak effective, karena menurut konstruktivisme, pengetahuan tidak bisa ditransfer dari satu individu ke individu lain. Pengetahuan adalah hasil dari proses kontruksi pengalaman terdahulu dengan pengetahuan baru sehingga melahirkan suatu konsep.
Selain itu,  konstruktivisme menyatakan, belajar bermakna adalah dimana pengetahuan yang didapat dari proses belajar dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, dapatkah UAN memberikan proses belajar bermakna dalam pelaksanaannya?
 Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN maka selama itu perdebatan dan  ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Seorang anak yang berpotensi untuk menjadi seorang seniman tidak bisa dipaksakan untuk menguasai matematika kalau dia sendiri tidak menyukainya dan berpikir tidak relevan dengan seni yang digelutinya. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.

B.     Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa filsafat konstruktifisme ada sebagai cara pandang kita melihat pengetahuan dari sisi kebermanfaatannya bagi kehidupan siswa sehari-hari. Bukan terpaku pada pengetahuan semu yang berupa hapalan dan belum tentu dapat siswa gunakan untuk mengatasi masalahnya sehari-hari. Meskipun sulit mejalankan teori ini berkaiatan dengan UAN, akan tetapi akan berguna dan dapat membantu kemajuan anak didik kita di kemudian hari, apabila para pendidik dapat membantu agar anak didiknya sungguh belajar mengkonstruksi pengetahuan mereka selama dalam bangku sekolah. Biarkanlah mereka berpikir kritis terhadap bahan yang mereka pelajari dan biarkan mereka untuk mengungkapkan gagasan ide serta interpretasi mereka terhadap apapun yang mereka pelajari. Jangan matikan kreativitas mereka dengan memilih mengajar dengan menggunakan system teacher-center dengan alasan mempersiapkan UAN dan hanya membatasi materi pada pateri UAN. Akhirnya, hasil akhir itu adalah penting dalam proses pendidikan, tetapi prose mendapatkan hasil akhir itu jauh lebih penting.

C.    Saran
Penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1.      Sebaiknya system UAN dikaji kembali, untuk melihat efektivitasnya untuk kelangsungan generasi muda berikutnya. Jangan sampai system UAN menjerumuskan siswa yang mungkin tdk berbakat pada materi yang diujikan tp berbakat pada keterampilan lain. Itu akan membatasi kreativitas siswa.
2.      Bagi guru yang akan mempersiapkan UAN untuk siswanya, sebaiknya mempersiapkannya dari jauh-hari,agar tidak terkesan mengejar waktu, hingga akhirnya mengorbankan kesempatan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kelas.
Jika UAN ingin dilanjutkan pelaksanaannya, sebaiknya lebih memperhatikan penilaian proses, tidak hanya penilaian produk akhir. Mungkin ini bisa dilakukan dengan mengganti jenis soal, sehingga dapat mengukur kasitas siswa secara murni.

References
Basuki, Markus. 2010. Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu: Filsafat Konstruktivisme. http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html

Ngadirin. 2004. Ujian Akhir Nasional (UAN) Sebagai Issue Kritis Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta. http//art05-75.html

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar