Selasa, 08 November 2011

PENDIDIKAN KARAKTER DAN KAITANNYA DENGAN LANDASAN BUDAYA PENDIDIKAN

PENDIDIKAN KARAKTER
DAN KAITANNYA DENGAN
LANDASAN BUDAYA PENDIDIKAN

Ditulis oleh: Luh Ketut Sri Widhiasih

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik.

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei tahun ini mengambil tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Sebuah tema strategis yang memang amat kontekstual dengan situasi kekinian yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan akhlak dan budi pekerti. Degradasi moral dan involusi budaya telah menjadi fenomena rutin yang makin menenggelamkan kemuliaan dan martabat bangsa. Perilaku kekerasan, vandalisme, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan tak jarang ditempuh dengan cara-cara curang ala Machiavelli, bahkan jika perlu menggunakan ilmu permalingan dan berselingkuh dengan dunia klenik dan mistik. Tak ayal lagi, negeri ini tak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada.

Dalam situasi demikian, bangsa dan negeri yang besar ini perlu diingatkan kembali pada nilai-nilai genuine yang secara historis telah membuat kesejatian diri bangsa menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud untuk tenggelam ke dalam romantisme masa silam, yang jelas bangsa kita perlu belajar pada nilai-nilai kearifan lokal masa silam sebagai basis perilaku untuk memasuki pusaran arus global yang makin rumit dan kompleks sehingga bangsa kita sanggup menjadi bangsa yang maju dan modern tanpa harus kehilangan pijakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Negeri kepulauan yang memiliki kemajemukan dalam soal etnis, bahasa, budaya, ras, dan berbagai kekuatan primordial lainnya itu sejatinya bisa membangun sebuah kesenyawaan peradaban yang menggambarkan mosaik keindonesiaan yang toleran, demokratis, bermartabat, berbudaya, dan beradab.

Di tengah situasi masyarakat yang chaos dan berdarah-darah semacam itu, pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan tak hanya dituntut untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, sehingga keluaran pendidikan benar-benar menjadi sosok yang “utuh” dan “paripurna”; menjadi pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.



B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah pendidikan karakter itu?

2. Apa saja yang mendasari pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia?

3. Aspek apa saja yang akan diajarkan dalam pendidikan karakter?

4. Bagaimana pendidikan karakter idealnya diterapkan di sekolah?

5. Bagaimana dampak pendidikan karakter terhadap peserta didik?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan dan Kebudayaan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendi­dikan yang dalam hidup segala makhluk terdapat sebagai laku-kodrat (instinct), dalam hidup manusia yang beradab bersifat usaha kebudayaan. Sebagai laku-kodrat maka pendidikan itu masih bersifat laku atau kejadian (sebelum merupakan perbuatan berdasarkan kemauan), jadi masih sangat sederhana dan hanya me-ngenai pokok-pokok keperluannya. Pendidikan yang berlaku sebagai instinct, itu berupa pemeliharaan ter-hadap kanak-kanak, serta latihan-latihan tingkah laku yang kelak perlu untuk hidup dan penghidupannya. Sebagai usaha-kebudayaan, maka pendidikan itu ber-maksud memberi tuntunan didalam hidup tumbuhnya badan dan jiwa kanak-kanak, agar kelak dalam garis-garis kodrat pribadinya dan pengaruh segala keadaan yang mengelilingi lahir dan batinnya menuju kearah adab kemanusiaan.

Adab kemanusiaan dimaksud adalah keluhuran dan kehalusan budi manusia, mengandung arti kesanggupan dan kemampuan manusia serta keinsyafan akan keha-rusan manusia menuntut kecerdasan, keluhuran dan kehalusan budi pekerti bagi dirinya.

Pendidikan adalah salah satu usaha untuk memberikan segala nilai-nilai kebatinan, yang hidup di dalam hati rakyat yang berkebudayaan, kepada tiap-tiap tu-runan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa pemeliharaan, tetapi juga dengan maksud memajukan serta mengembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran hidup kemanusiaan. Dalam daftar penga-jaran hendaknya dimasukkan pengajaran yang dapat mempersatukan dan memperkuat kebudayaan bangsa, menumbuhkan semangat kebangsaan yang sehat dan kuat (tidak menyalahi hukum adab kemanusiaan). Se-dangkan pelajarannya hendaknya diambil dari sumber-sumber keagamaan, adat-istiadat, kesusilaan, kesenian, sejarah, dan lain-lain, yang mengandung pelajaran ke-adaban pada umumnya. Perhatian terhadap kebuda­yaan kebangsaan hendaknya dipakai sebagai awal pen­didikan kebudayaan.

Pendidikan sebagai usaha untuk menanamkan nilai-ni­lai kebudayaan, memelihara, memajukan, dan mengem­ bangkan kebudayaan untuk menuju kearah keluhuran hidup kemanusiaan. Dalam hal ini perlu adanya pen­gajaran baru untuk mempelajari nilai-nilai kebudayaan pada umumnya, dan nilai-nilai pendidikan pada khu-susnya, yang ada di dalam kehidupan kebudayaan ke­bangsaan Indonesia. Dalam daftar pe-ngajaran umum (kurikulum) perlu dimasukkan suatu pengajaran yang dapat mempersatukan dan memperkuat kebudayaan bangsa, menumbuhkan semangat kebangsaan yang sehat dan kuat, tidak menyalahi hukum adab kema­nusiaan. Isi pengajarannya dapat diambil dari sumber keagamaan, adat-istiadat kesusilaan, kesenian, sejarah kebangsaan, dan lain-lain yang mengandung pelajaran keadaban pada umumnya.

Berdasarkan uraian tersebut bahwa isi dan makna dari konsep tersebut adalah antara pendidikan dan kebuda­yaan terdapat hubungan yang sangat erat, artinya ked-uanya menekankan pada hal yang sama, yaitu nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat terlepas dari kebudayaan, dan sebaliknya kebudayaan juga tidak dapat lepas dari pen­didikan. Tidak ada suatu proses pendidikan tanpa ke­budayaan dan masyarakat, sebaliknya tidak ada suatu proses kebudayaan tanpa proses pendidikan. Proses ke­budayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi didalam hubungan antar manusia dalam masyarakat.

B. Kebudayaan dalam Pendidikan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, telah meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang berorientasi budaya. Dalam Kongres Tamansiswa Pertama Tahun 1930, Ki Hadjar Dewantara telah menyodor-kan konsep pendidikan sebagai berikut: Pendidikan beralaskan garis hidup dari bangsanya (kulturil na­sional) yang ditujukan untuk keperluan perikehidup-an (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya. Agar dapat bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manu­sia di seluruh dunia. Dari rumus-an tersebut dapat dilihat butir-butir yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah: (1) Bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bah-kan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. (2) Kebu­dayaan yang menjadi landasan pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan demikian kebudayaan yang di-maksud adalah kebudayan yang riil, yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia.

Disinilah peranan pendidikan nasional untuk ikut membangun kebudayaan kebangsaan Indonesia, seperti yang tertuang dalam dasar-dasar pendidikan dan pengajaran nasional menurut Undang-Undang No. 4. Tahun 1950 Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Peng­ajaran di Sekolah, yaitu bahwa pendidikan dan penga­jaran berdasarkan atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 dan atas dasar kebudayaan ke­bangsaan Indonesia.

Kekeliruan yang telah terjadi selama ini. dengan me-misahkan proses pendidikan dari proses kebudayaan perlu diperbaiki. Di samping memberikan pendidikan kebudayaan dalam arti terbatas, seperti pendidikan seni, bahasa dan sastra, dan pendidikan budi pekerti. Dan yang paling mendasar adalah kembali kepada paradigma semula mengenai pendidikan nasional kita, yaitu mendasarkan pendidikan nasional kepada kebudayaan nasional.

Dengan demikian pendidikan nasional benar-benar dapat menyiapkan generasi muda yang berkarakter, berkepribadian, beradab dan berbudaya, sehingga para generasi muda Indonesia dapat lebih mencintai ke­budayaan bangsanya sendiri. Pendidikan hendaknya dapat dinikmati dan terjangkau oleh seluruh rakyat dan bangsa Indonesia di seluruh pelosok tanah air, inilah se-benarnya yang disebut pendidikan nasional yang bersi-fat nasional, oleh Ki Hadjar Dewantara disebut pendi­dikan kerakyatan.

C. Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, yang dimaksud pengajaran budi pekerti atau pendidikan kara­kter adalah upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Menganjur-anjurkan atau kalau perlu menyuruh anak-anak untuk: duduk yang baik, jangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu anak-anak lain, bersih badan dan pakaiannya, hormat terhadap ibu bapak dan orang-orang lainnya, menolong teman-teman yang perlu ditolong, demikian seterusnya. Itulah semuanya sudah merupakan pengajaran budi pekerti. Dengan begitu maka syarat pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter oleh Ki Hadjar Dewantara biasa disebut metode ngerti-ngroso-nglakoni (menyadari, menginsyafi, dan melakukan) harus dilaksanakan.

Itulah maksud dan tujuan pemberian pengajaran budi pekerti untuk membentuk karakter anak, yang di-hubungkan dengan tingkatan - tingkatan perkembang­an jiwa yang ada di dalam hidupnya anak-anak, mulai dari kecil sampai masa dewasanya.

Pendidikan karakter dan budaya bangsa disini adalah proses penanaman nilai-nilai yang terkan­dung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta kebudayaan kebangsaan Indonesia, yang akan dijabarkan dalam ben-tuk kegiatan-kegiatan kongkrit, baik yang berupa mata pelajaran maupun mata kegiatan yang akan dirancang dalam bentuk kurikulum khusus sesuai dengan mata pelajaran atau mata kegiatan yang akan dikembangkan di sekolah masing-masing.

Orangtua juga menjadi pendidik karakter yang pertama dan utama bagi anak. Maka nilai-nilai mana yang mau ditekankan disekolah, perlu dikomunikasikan dengan keluarga. Tidak kalah pentingnya peran masyarakat juga menjadi pendidik karakter, karena masyarakat-lah yang akan mendukung implementasi apa yang sudah diberikan dalam keluarga dan sekolah akan di-praktekkan di masyarakat. Peran media masa dan me­dia elektronik juga sangat penting dalam memben­tuk karakter anak, melalui siaran media mereka akan menangkap berbagai informasi, baik yang mendukung atau justru yang melemahkan nilai-nilai yang sudah di­tanamkan oleh keluarga maupun sekolah. Oleh karena itu, media masa maupun elektronik juga harus berperan aktif dalam mem ban gun karakter bangsa, dengan me-nyajikan informasi yang positif dan mendidik sehingga dapat mendukung proses pendidikan karakter.

Pendidikan karakter harus tetap dalam bingkai utuh Sisdiknas dengan mengacu pada prinsip-prinsip antara lain (1) Karakter bangsa mengandung perekat kultural yang harus terwujud dalam kesadaran kultural (cultural awareness) dan kecerdasan kultural (cultural intelegence) setiap warga negara. Perlu dirumuskan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam makna karakter yang berakar pada filosofi Pancasila, Sang Saka Merah Putih, sem-boyan Bhineka Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Ray a, yang nantinya melalui pendidikan karakter akan terjadi internalisasi nilai pada individu, kelompok, lembaga. (2) Pendidikan Karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah be-rakhir (never ending process), sebagai bagian terpadu dari pendidikan alih generasi, yang disesuaikan dengan so-so k manusia masa depan, berakar pada filosofi dan nilai kultural bangsa Indonesia.

D. Pendidikan Karakter di Sekolah

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata.

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. (Sudrajat, 2010)

E. Dampak Pendidikan Karakter

Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.*

Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif.

Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU. Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Penulis ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).(Williams dan Megawangi, 2010)


BAB III

PENUTUP



A. Kesimpulan

Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.

Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.

Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa”, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pesan akhir tulisan ini, berikan layanan yang terbaik kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan sehingga terwujud masyarakat yang ”beradab” yang mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.



B. Saran

Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.






Daftar Pustaka


Herdani, Yoggi. 2010. Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi Kesuksesan Peradaban Bangsa. http://jugaguru.com/
Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ Williams, Russell T dan Megawangi, Ratna. 2010. DAMPAK PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP AKADEMI ANAK. http://pondokibu.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar